Aturan OJK, BUKP Gunungkidul Transformasi Jadi Perseroda
Pemda DIY menyiapkan regulasi baru untuk transformasi BUKP Gunungkidul menjadi perseroan daerah sesuai aturan OJK, sementara kasus dana bermasalah di BUKP Kulonprogo memicu gugatan nasabah dan menjadi ujian besar tata kelola ekonomi desa.
Ringkasan Artikel:
- Pemda DIY siapkan transformasi BUKP Gunungkidul sesuai aturan OJK nasional
- Gunungkidul dipilih sebagai contoh karena kondisi BUKP paling sehat di DIY
- Kasus Kulonprogo rugikan nasabah Rp8,2 miliar dari dua cabang berbeda
- Sultan persilakan nasabah menggugat Pemda lewat jalur perdata hukum
- DPRD dukung transformasi meski kritik hukum muncul soal konsistensi
Aturan Baru OJK Jadi Pemicu Transformasi Lembaga Keuangan Desa
Pemda DIY merevisi Propemperda 2025 untuk memberi payung hukum baru bagi BUKP. Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X mengusulkan agar BUKP Gunungkidul beralih menjadi perseroan daerah, mengikuti arahan regulasi yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan.
OJK mewajibkan lembaga pengelola dana simpan pinjam memiliki bentuk hukum yang jelas. Pilihannya hanya dua, koperasi atau perseroan. Aturan ini dibuat untuk memperkuat tata kelola, memberi kepastian hukum, dan melindungi masyarakat dari potensi kerugian.
Anggota DPRD DIY Lilik Syaiful Ahmad dari Fraksi Golkar mendukung penuh langkah itu. Menurutnya BUKP Gunungkidul tidak boleh terhambat aturan. Transformasi jadi solusi realistis agar lembaga yang sudah sehat tetap bisa beroperasi secara berkelanjutan.
Gunungkidul Dipandang Sebagai Contoh BUKP Paling Sehat Di DIY
Gunungkidul dipilih sebagai model transformasi karena kondisi BUKP di wilayah ini dianggap paling sehat. Data DPRD menunjukkan manajemen BUKP Gunungkidul relatif tertib. Selama ini lembaga tersebut mampu menjaga kepercayaan warga desa.
BUKP berperan penting dalam denyut ekonomi lokal. Petani dan pelaku usaha kecil mengandalkan pinjaman BUKP untuk modal kerja maupun kebutuhan mendesak. Akses ke lembaga ini lebih mudah dibanding bank konvensional yang sulit dijangkau.
Dengan status baru sebagai perseroan daerah BUKP Gunungkidul diharapkan semakin kuat. Langkah ini diyakini membuat layanan lebih luas dan aman secara hukum. Harapannya keberlanjutan lembaga dapat terjamin untuk jangka panjang.
Kasus BUKP Kulonprogo Bikin Luka Dalam Bagi Nasabah Pedesaan
Berbeda dengan Gunungkidul BUKP Kulonprogo dilanda kasus serius. Nasabah cabang Galur kehilangan Rp5,2 miliar sementara cabang Wates rugi Rp3 miliar. Dugaan penyelewengan dana ini kini tengah ditangani Kejaksaan Negeri Kulonprogo.
Nasabah mendesak pemerintah daerah segera mengembalikan dana mereka. Namun posisi hukum Pemda DIY tidak kuat. Ada perbedaan antara catatan internal dengan bukti yang dipegang nasabah sehingga sulit untuk langsung mengembalikan kerugian.
Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X akhirnya mempersilakan nasabah menggugat Pemda lewat perdata. Kepala BPKA DIY Wiyos Santoso menyebut langkah itu penting agar penyelesaian masalah memiliki dasar hukum dan memberi kepastian pada semua pihak.
Dukungan DPRD Menguat Meski Kritik Hukum Mulai Disuarakan
DPRD DIY menyatakan dukungan terhadap kebijakan transformasi BUKP. Beberapa anggota fraksi menilai langkah Gubernur adalah jawaban tepat atas aturan OJK sekaligus cara untuk menjaga keberlanjutan lembaga keuangan mikro pedesaan.
Anggota DPRD DIY Timbul Suryanto dari Fraksi PKB mengatakan transformasi ini akan memperkuat landasan hukum BUKP. Ia berharap lembaga tidak hanya sah secara regulasi tetapi juga lebih kokoh dalam menjaga dana masyarakat.
Namun suara kritis muncul dari Paguyuban Nasabah BUKP Kulonprogo. Kuasa hukum mereka Teguh Rahardjo mempertanyakan konsistensi hukum. Ia khawatir perubahan payung hukum justru melemahkan tanggung jawab terhadap kasus lama.
Masa Depan Ekonomi Desa Ditentukan Proses Hukum Dan Regulasi
Transformasi BUKP Gunungkidul dan penanganan kasus Kulonprogo akan jadi tolok ukur tata kelola ekonomi desa di DIY. Keberhasilan keduanya bisa menjadi model nasional dalam memperkuat lembaga keuangan yang dekat dengan masyarakat.
Tantangan terbesar adalah memastikan perubahan tidak berhenti pada status hukum. Manajemen risiko, transparansi, dan tata kelola harus diperbaiki. Kepercayaan masyarakat hanya bisa dipertahankan jika prosesnya dilakukan terbuka.
Jika berhasil, BUKP akan menjadi simbol keuangan inklusif di Yogyakarta. Transformasi ini diyakini memperkuat kepercayaan publik dan menjaga masa depan ekonomi desa. Sebaliknya kegagalan akan menimbulkan keraguan besar terhadap tata kelola daerah.





